Y2F.Media — Masa kuliah adalah periode di mana saya — sebagai penulis sekaligus subjek artikel ini — sering kali membagikan hampir setiap momen yang saya lalui. Mulai dari kegiatan sehari-hari, organisasi, acara-acara kampus, promosi event, hingga hal-hal konyol yang sebenarnya tidak perlu diposting. Misalnya, mengunggah video bernyanyi sambil bermain gitar dengan suara fals, menggunakan filter interaktif yang tidak jelas, atau sekadar mengajukan pertanyaan random kepada follower demi mencari perhatian. Semua itu saya lakukan untuk memicu interaksi dan komunikasi melalui unggahan-unggahan tersebut.
Dengan begitu banyak konten pribadi yang saya bagikan, seolah-olah saya telah membuka buku harian saya lebar-lebar untuk semua orang. Setiap unggahan menjadi jendela yang membeberkan:
• Aktivitas yang sedang saya lakukan
• Tempat saya berada
• Perasaan saya di momen tersebut
Tanpa sadar, saya telah menciptakan ilusi bahwa semua orang mengenal saya secara utuh, padahal yang mereka lihat hanyalah versi yang saya pilih untuk ditampilkan.
Munurut journal yang ditulis oleh Hanif Akhtar ada tiga alasan utama orang membagikan konten di media sosial:
- Menjaga Hubungan Sosial
Orang sering membagikan sesuatu demi menjaga hubungan dengan orang lain. Media sosial memudarkan batas antara kehidupan pribadi dan publik, sehingga orang memanfaatkannya untuk tetap terhubung. Aktivitas seperti memberi “like” atau komentar adalah cara sederhana untuk menunjukkan kehadiran dan empati, sekaligus memberi kesan “Aku memperhatikanmu.” - Presentasi diri
Upaya menampilkan versi terbaik atau ideal dari diri kita kepada orang lain (Herring & Kapidzic, 2015). Konten visual (foto/video) menjadi alat paling efektif untuk membentuk kesan. Konten teks: Di Twitter, pengguna membangun kesan lewat opini kritis atau gaya menulis tertentu (Anasari & Handoyo, 2015). Contoh: mengomentari isu sosial untuk terlihat “melek informasi”. - Hiburan dan Pembelajaran
Oversharing di media sosial juga didorong oleh kebutuhan hiburan dan pembelajaran. Kebiasaan menggeser feed atau story seringkali dilakukan untuk mengusir kebosanan — bahkan, rasa FOMO (fear of missing out) membuat orang merasa “tertinggal” jika tidak terus memantau unggahan terbaru (Juwita dkk., 2015).
Tujuannya beragam: mulai dari ingin terlihat well-informed hingga sekadar berharap kontennya bermanfaat bagi orang lain.
Setiap unggahan saya waktu itu adalah upaya mengisi kekosongan interaksi sosial sebagai perantau. Tanpa keluarga di dekat saya, likes dan komentar teman-teman di media sosial menjadi pengganti obrolan dan perhatian yang saya rindukan. Mahasiswa pada umumnya dituntut untuk semakin mandiri dan memasuki lingkungan baru di perguruan tinggi, kegiatan kemahasiswaan, hidup dalam lingkungan masyarakat yang baru sehingga mereka rentan mengalami kesepian (Halim & Dariyo, 2016).
menurut jurnal yang ditulis oleh Dewi dkk menyatakan: Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendirian tanpa bantuan orang lain. Kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan), kebutuhan sosial (pergaulan, pengakuan, sekolah, pekerjaan) dan kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman, perasaan religiusitas, tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuan orang lain. Apalagi jika orang tersebut sedang menghadapi masalah, baik ringan maupun berat. Pada saat- saat seperti itu seseorang akan mencari dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya, sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan dan di cintai.
Layaknya pisau bermata dua, unggahan saya ibarat lukisan — maknanya bisa berbeda tergantung siapa yang melihat. Pujian dan kritik datang silih berganti; ada yang menangkap niat baik di baliknya, ada pula yang menganggapnya sebagai bentuk kesombongan.
Di media sosial, setiap unggahan rentan disalahartikan.
Sebagai contoh:
• Saat mengutarakan pendapat pribadi, selalu ada yang merasa tersindir padahal bukan untuk mereka.
• Ketika membagikan lagu sedih, langsung dicap “galau” — padahal mungkin hanya sekadar nostalgia atau memang menyukai melodinya.
Media sosial menjadi ruang ambigu di mana konten sering ditelan mentah-mentah. Tanpa klarifikasi, orang langsung menarik kesimpulan sendiri berdasarkan persepsi mereka.
Dengan melakukan oversharing, kita mungkin tidak menyadari bahwa:
- Setiap informasi yang dibagikan — meski sering disalahtafsirkan — menjadi catatan publik yang bisa diakses oleh siapa saja, termasuk orang-orang dengan niat kurang baik.
- Data pribadi yang terlalu terbuka berisiko dimanfaatkan secara negatif, baik untuk kejahatan, bahan gunjingan, maupun penilaian sepihak terhadap karakter kita.
- Ada orang yang secara aktif mengumpulkan dan menyimpan unggahan kita, lalu menggunakannya untuk kepentingan mereka sendiri — tanpa peduli konteks atau maksud asli di balik konten tersebut.
Menurut jurnal yang ditulis hana dkk menyatakan Perilaku membagikan terlalu banyak kehidupan pribadi di sosial media dapat membahayakan keamanan. Perilaku oversharing yang bersifat pribadi saat berada dirumah dengan menunjukkan lokasi rumah, bercengkerama dengan sahabat atau pacaran. Bahkan, banyak warganet yang mengunggah foto-foto pribadi yang tidak layak untuk tampil di media sosial. Artinya, minimnya pengetahuan akan penggunaan media sosial seringkali menjadi kekerasan siber. Praktek doxing, atau melacak identitas seseorang di dunia maya dengan tujuan negatif seperti menyerang dan mencari kelemahan seseorang. Bahkan, praktik doxing pada kaum laki-laki, seringkali dengan membuka semua keburukan masa lalu yang kemudian disebar melalui media sosial. Masa lalu seseorang ini diambil dari belasan tahun yang diakumulasikan sehingga seolah-olah baru saja terjadi. Keburukan masa lalu seseorang yang ditarget ini kemudian dijadikan materi untuk menghancurkan reputasinya dengan motif balas dendam atau motif pemerasan ekonomi (Arianto, B., 2021: 107).
”Artikel ini dibuat untuk menganalisis diri terhadap perilaku oversharing di media sosial.”
Berlanjut ke bagian 2 – baca di sini
Kontributor: @edoduliels
Tim Editor: Y2F Media