Y2F.Media — Di tengah riuhnya Kota Malang, sebuah fenomena menarik tengah berkembang. Ratusan orang, tanpa atribut khusus atau ikatan perkenalan, berjalan kaki menyusuri jalanan, kadang dalam diam, kadang diselingi tawa. Mereka adalah bagian dari Footish Malang, sebuah komunitas yang tumbuh bukan dari ambisi besar, melainkan dari kebutuhan sederhana akan udara segar dan keinginan untuk pulih. Komunitas ini lahir pada tahun 2021, di tengah bayang-bayang pandemi saat aktivitas luar ruang menjadi langka.
Bondan Sekaringadi, sang pendiri, menemukan inspirasi setelah pulih dari Covid-19. “Waktu itu jalan kaki jadi satu-satunya olahraga yang masuk akal. Ringan, aman, bisa sendiri,” ujar Bondan. Ia mulai membagikan rutinitas jalan kakinya di media sosial, dan tak disangka, respons positif berdatangan. Ajakan jalan kaki bareng pun muncul, dan Footish Malang resmi terbentuk.
Awalnya, sesi jalan kaki ini sering diwarnai keluh kesah tentang kondisi trotoar dan jalur pedestrian di Malang yang semrawut. Namun, dari keresahan itulah komunitas ini justru berkembang pesat. Jumlah anggotanya meningkat perlahan, dari puluhan menjadi ratusan. Pada tahun 2023, setiap pertemuan sudah diikuti sekitar 40 orang per minggu. Kini, dalam satu sesi, Footish Malang bisa diikuti oleh lebih dari 600 orang.
Tiap pekan, mereka selalu menjelajahi tempat-tempat tersembunyi yang belum banyak diketahui. Mulai dari Kampung Joyo Agung, mampir ke Situs Karang Besuki, hingga berakhir di Taman Sigha Merjosari. “Yang paling unik lagi saat kami berjalan di perkampungan daerah Muharto, benar-benar kampung padat penduduk sampai harus lewat dapur warga,” tambah Bondan.
Kini, Footish Malang tak sekadar komunitas olahraga ringan. Sebelum memulai langkah, peserta selalu diingatkan tentang etika berjalan. Namun, esensi yang paling menyentuh justru muncul setelah aktivitas fisik. Saat peluh sudah kering, obrolan-obrolan kecil pun mengalir. Ada yang berbagi cerita tentang kehilangan pekerjaan, patah hati, atau sekadar mencari jeda dari tekanan skripsi.
“Banyak yang datang karena butuh pelarian. Tapi malah pulang bawa teman baru,” tutur Bondan. Kisah Footish Malang ini menunjukkan bahwa di tengah kesibukan kota, berjalan kaki bukan hanya tentang kesehatan fisik, tetapi juga tentang menemukan koneksi, dukungan emosional, dan healing bersama.