Y2F.Media — Di tengah hiruk pikuk aktivitas organisasi, muncul keresahan yang makin santer terdengar: klaim “kesehatan mental penting” seringkali berbanding terbalik dengan realitas lapangan. Banyak anggota organisasi, terutama di kalangan mahasiswa atau profesional muda, merasakan tekanan luar biasa. Tugas dari senior yang datang tengah malam dan harus rampung subuh, menjadi gambaran umum dari budaya kerja yang mengabaikan batasan.
Meskipun retorika tentang pentingnya kesehatan mental kian sering digaungkan, praktiknya masih jauh dari ideal. Anggota organisasi kerap dihadapkan pada tuntutan yang tidak realistis, deadline mepet, dan jam kerja yang tidak kenal waktu. Ini bukan hanya menguras energi fisik, tetapi juga berdampak serius pada kesehatan mental, menyebabkan kelelahan, stres, bahkan depresi.
Kondisi ini memicu pertanyaan: jika kesehatan mental benar-benar prioritas, mengapa praktik kerja yang tidak sehat masih terus berjalan? Jawabannya seringkali terletak pada kurangnya keberanian untuk berbicara dan menegakkan batasan.
Ini adalah panggilan bagi setiap anggota organisasi untuk mulai berani mengkomunikasikan batasan dan mengatur ritme kerja yang sehat. Sebuah organisasi tidak akan bisa berfungsi optimal jika anggotanya burnout. Kontribusi maksimal hanya bisa diberikan oleh individu yang sehat secara fisik dan mental.
Membangun budaya organisasi yang sehat dimulai dari komunikasi. Para pemimpin dan senior perlu membuka ruang dialog, mendengarkan masukan, dan memastikan beban kerja yang proporsional. Sementara itu, anggota juga harus proaktif dalam menyuarakan kapasitas mereka, menetapkan batasan yang jelas, dan mencari solusi bersama. Organisasi yang kuat bukan diukur dari seberapa keras anggotanya begadang, melainkan dari seberapa efektif mereka berkolaborasi dan menjaga kesejahteraan bersama.