Y2F.Media — Fenomena pembuatan konten menggunakan tools generative artificial intelligence (AI generatif) kini kian marak, bahkan merambah YouTube dan media sosial lainnya. Mulai dari lofi playlist dengan lagu buatan AI hingga cerita rakyat Instagram yang diperankan aktor AI, kreativitas digital memang tak terbendung. Namun, di balik kemudahan dan potensinya, muncul pertanyaan besar seputar hak cipta dan etika, yang membuat para pakar hukum dan industri angkat bicara.
Pergulatan Hukum dan Moral di Balik Monetisasi AI
Sejumlah platform AI generatif memang memungkinkan konten video dan lagu AI untuk dimonetisasi. Syaratnya, pengguna harus memperoleh hak cipta atau lisensinya dengan berlangganan jasa AI generatif tersebut. Namun, masalahnya belum selesai di situ. Beberapa platform AI generatif justru masih dalam negosiasi panas dengan pemilik hak cipta terkait gugatan hukum.
Sebut saja Suno AI, platform generator lagu yang kini menghadapi tuntutan dari raksasa musik seperti Universal Music Group, Warner Music Group, dan Sony Music Group. Mereka menuntut kompensasi atas penggunaan musik karya musisi mereka yang diduga dipakai untuk melatih model AI generatif. Kasus ini, seperti dilaporkan Wall Street Journal, dinilai sebagai potensi pergeseran platform AI dari pelaku eksploitasi menjadi mitra musisi.
Namun, tidak semua platform punya itikad serupa. Contohnya, tools OpenAI atau platform sejenis yang bisa mengubah foto jadi gambar karakter animasi Studio Ghibli. Co-Founder Studio Ghibli, Hayao Miyazaki, dikenal sangat menentang penggunaan AI generatif dalam animasi. Ia bahkan pernah menyatakan teknologi ini “sangat menjijikkan” dan “penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri,” serta menegaskan tidak akan pernah memasukkannya ke dalam karyanya.
Kekosongan Hukum dan Pentingnya Etika: Kata Pakar
Lantas, bagaimana sebenarnya legalitas penggunaan lagu dan video AI dalam membuat konten? Guru Besar Ilmu Filsafat Hukum Binus University, Prof. Dr. Shidarta SH MHum, melihat adanya semacam kekosongan hukum terkait AI generatif saat ini. Ia menekankan, jika aspek hukum belum kuat, etika menjadi benteng sementara.
“Ujung-ujungnya sekarang itu, kalaupun nggak cukup kuat aspek hukumnya, orang lari ke etika,” kata Shidarta kepada detikEdu. Ia menyarankan agar pengguna transparan mengakui bahwa konten berasal dari AI generatif dan menjabarkan sumber inspirasi pembuatannya. Definisi konvensional hak cipta dan kekayaan intelektual juga perlu diperluas untuk menjangkau ranah AI generatif ini.
Di tingkat kampus, Shidarta menjelaskan, perguruan tinggi sudah menyusun kode etik internal untuk membangun literasi AI mahasiswa dan menjaga orisinalitas karya. Intinya, kejujuran untuk mengakui penggunaan AI menjadi sangat penting. Ia juga mengingatkan bahwa jika konten AI menimbulkan masalah hukum, setiap pihak akan bertanggung jawab, mulai dari pembuat konten hingga platform penayang. Ini adalah panggilan untuk literasi digital yang lebih mendalam, agar tidak ada korban akibat ketidaktahuan.