Podcast

Revolusi Kepemimpinan: Peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam Konsep Ex Officio Andalan pada Dewan Kerja

Y2F.Media — Gerakan Pramuka, dikenal sebagai kawah candradimuka pembentukan karakter bangsa, ternyata memiliki kisah menarik tentang bagaimana “darah baru” pemimpin disiapkan jauh sebelum mereka menduduki posisi puncak.

Berawal dari gagasan pembentukan Dewan Kerja sebagai wadah kaderisasi pimpinan, Ketua Kwartir Nasional Sri Sultan Hamengkubuwono IX menegaskan pentingnya learning by doing bagi para anggota muda dalam berlatih memimpin.

Namun, sekitar lima tahun setelah Dewan Kerja Nasional (DKN) dan Dewan Kerja Daerah (DKD) terbentuk, muncul dinamika yang menarik. Para anggota Dewan Kerja mulai menyuarakan keinginan untuk terlibat lebih jauh dalam pengambilan keputusan di Kwartir, mengingat kecepatan mereka seringkali berbenturan dengan birokrasi yang lebih lamban.

Menjelang Musyawarah Nasional (Munas) Gerakan Pramuka pada November 1974 di Manado, sebuah ide revolusioner mencuat: menjadikan Ketua dan Wakil Ketua Dewan Kerja sebagai ex-officio andalan di Kwartir mereka.

Usulan ini disampaikan langsung oleh Paulus Tjakrawan dan pengurus DKN lainnya kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sang Sultan, yang terkejut namun setelah merenung, memberikan saran strategis: biarkan ia sendiri yang menyampaikan usulan tersebut di Munas, karena jika datang dari anggota muda, kemungkinan besar akan ditolak.

Sesuai saran tersebut, usulan itu disampaikan dalam pidato pembukaan Munas 1974 dan akhirnya disetujui, masuk dalam keputusan Munas.

Keputusan ini memiliki dampak monumental. Menurut Triadi Suparta, anggota DKN 1978-1983, kebijakan ini meneguhkan posisi Dewan Kerja sebagai wadah calon pemimpin Kwartir. Tokoh-tokoh senior seperti Kak Azis Saleh, Kak Mashudi, dan lainnya memberikan dukungan penuh, menganut prinsip “Tut Wuri Handayani”.

Buktinya, DKN periode 1978-1983 diberi kepercayaan penuh untuk mengelola kegiatan nasional seperti Raimuna Nasional dan Perkemahan Wirakarya Nasional. Para pembina melihat proses ini sebagai pengalaman berharga bagi Pramuka Penegak dan Pandega.

Jana Anggadiredja bahkan mengenang bagaimana Kak Mashudi dan Kak Hartono dari Kwarda Jawa Barat secara aktif melibatkan DKD Jawa Barat dalam setiap kunjungan dan rapat, meminta masukan mereka yang duduk sejajar dengan Andalan lainnya.

Meski perbedaan pendapat sering terjadi, bahkan sampai ‘gebrak meja’, setelah rapat semua persoalan selesai, layaknya hubungan kakak dan adik.

Kebijakan ini terus berlanjut. Pada Munas 1983, Kak Mashudi mengangkat Paulus Tjakrawan dan Evi, mantan anggota DKN, sebagai Pembantu Andalan Nasional.

Tren ini diikuti oleh Kwarda lain di Indonesia, dengan banyak purna Dewan Kerja yang kemudian menjadi Andalan Daerah atau Cabang. Bahkan, sejak era 1990-an, banyak dari mereka yang menduduki posisi pimpinan harian Kwartir Daerah dan Cabang.

Menurut Triadi Suparta, masuknya mantan pengurus Dewan Kerja ke posisi kepemimpinan Kwartir adalah “keniscayaan sejarah,” sejalan dengan visi pendiri Gerakan Pramuka.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX sendiri pada Munas 1983 menegaskan perlunya “darah baru” untuk pembinaan Gerakan Pramuka. Konsep “Ex Officio Andalan” telah menjadi langkah krusial yang tidak hanya meningkatkan posisi generasi muda dalam struktur Gerakan Pramuka, tetapi juga secara aktif mewujudkan tujuan awal pembentukan Dewan Kerja sebagai wadah kaderisasi kepemimpinan.


>> Gabung di Channel WhatsApp 👉 Y2F Media <<
Shares:
Show Comments (0)
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

11 + 2 =