Kuliner

Sejarah Unik Sup Buntut, Ternyata Hasil Adaptasi Teknik Masak Eropa

Y2F.Media — Di tengah gempuran tren kuliner modern dan sajian fusion food, sup buntut kembali mencuri perhatian sebagai hidangan tradisional Indonesia yang tak lekang oleh waktu. Rasanya yang gurih, dagingnya yang empuk, serta aroma rempah yang kuat menjadikannya favorit lintas generasi, dari warung tenda hingga restoran berbintang lima.

Sejarah Panjang dan Adaptasi Rasa Lokal

Sup buntut, olahan buntut sapi dalam kuah bening berempah, ternyata memiliki akar sejarah yang menarik. Hidangan ini sudah ada sejak zaman kolonial, diperkenalkan melalui pengaruh kuliner Eropa, khususnya dari teknik memasak oxtail soup. Namun, seiring waktu, masyarakat Indonesia dengan cerdas mengadaptasi resep tersebut. Penambahan rempah-rempah lokal seperti pala, cengkeh, kapulaga, dan kayu manis, menciptakan cita rasa khas Nusantara yang kaya.

“Sup buntut adalah perpaduan budaya yang lezat. Kami menggabungkan teknik Barat dengan cita rasa Timur,” ujar Chef Yudha Pratama, seorang juru masak profesional yang lebih dari 10 tahun mengangkat kuliner nusantara ke panggung internasional. Menurutnya, sup buntut bukan sekadar makanan, melainkan warisan budaya yang menyimpan cerita panjang dari meja makan keluarga hingga restoran berbintang lima.

Di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, sup buntut hampir selalu masuk dalam daftar menu favorit. Bahkan, banyak pelancong mancanegara penasaran ingin mencicipinya setelah membaca ulasan di media sosial atau blog perjalanan. Salah satu legenda yang konsisten menyajikan sup buntut sejak 1970-an adalah Rumah Makan Sop Buntut Bogor Cafe di Menteng, Jakarta Pusat. Restoran ini terkenal dengan sup buntut goreng dan sup buntut bakarnya yang khas. “Kami mempertahankan resep turun-temurun dari keluarga. Tidak ada bahan instan, semua dibuat dari rempah segar. Inilah yang membuat rasa kami konsisten selama puluhan tahun,” ujar Ratna, pemilik restoran generasi kedua.

Inovasi dan Tantangan di Balik Kelezatan

Sup buntut umumnya terdiri dari potongan buntut sapi yang direbus lama hingga empuk. Kuahnya jernih namun sangat kaya rasa berkat paduan bawang putih, bawang merah, lada, pala, cengkeh, daun bawang, dan seledri, kadang dilengkapi kentang, wortel, dan tomat. Kualitas buntut sapi sangat krusial; harus segar dan dipotong sesuai sendi agar sumsum tulangnya menyatu sempurna dengan kuah. Proses merebus bisa memakan waktu 3-4 jam demi tekstur lembut dan kaldu matang.

Di tengah tren fusion food, sup buntut juga mengalami transformasi. Beberapa restoran kini menyajikan versi panggang, tumis, hingga disajikan dengan mi atau nasi bakar. Chef Wayan dari Bali Fusion Kitchen di Denpasar, misalnya, menyajikan sup buntut bakar dengan saus madu rempah yang unik. “Kami ingin mengenalkan sup buntut kepada generasi muda dengan pendekatan yang lebih modern tanpa menghilangkan jati dirinya,” katanya. Bahkan, popularitasnya merambah ke ranah makanan beku, di mana sup buntut instan kini mudah ditemukan di supermarket dan e-commerce.

Meski sangat digemari, sup buntut tergolong hidangan mahal. Harga buntut sapi yang tinggi membuat satu porsi bisa mencapai Rp80.000-Rp150.000. Ini menjadi tantangan bagi UMKM. “Bahan baku buntut sapi itu mahal dan tidak selalu tersedia dalam jumlah besar,” ujar Anton, pengusaha katering rumahan di Bandung. Namun, para penggemar tetap rela membayar lebih demi cita rasa otentik yang tak tergantikan. Sup buntut bukan hanya hidangan biasa, melainkan simbol kekayaan budaya kuliner Indonesia yang terus bertahan dan berkembang.


>> Gabung di Channel WhatsApp 👉 Y2F Media <<
Shares:
Show Comments (0)
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

15 − one =