Berita

Film Tinggal Meninggal: Di Mana Batas Antara Kesepian dan Haus Perhatian?

Y2F. Media — “Manusia Caper” sangat dekat dengan bahasa sehari-hari dan langsung menggambarkan karakter utama serta tema yang paling relevan. Frasa “Mati Dulu Baru Dipeduliin” adalah sentilan langsung terhadap perilaku Gema dan juga sindiran tajam untuk masyarakat yang seringkali baru menunjukkan simpati setelah terjadi tragedi.

Kristo, bersama Jessica Tjiu sebagai penulis skenario, menawarkan kisah Gema (Omara N. Esteghlal), seorang pria biasa yang hidup di bawah bayang-bayang kesepian, untuk pertama kalinya merasakan limpahan simpati ketika ayahnya meninggal. Ucapan belasungkawa berdatangan, rekan-rekan kantor yang biasanya tak peduli mendadak memberi perhatian. Dari situ, kebutuhan akan afeksi tumbuh, bukan sebagai proses berduka, melainkan sebagai candu.

Lewat hal ini, film Tinggal Meninggal bukan cuma bicara soal kehilangan. Lebih dari itu, film ini menyindir cara kita baik di media sosial atau di dunia nyata yang sering menganggap momen berduka sebagai ajang untuk mencari perhatian.

Kebohongan Berantai

Struktur naratif Tinggal Meninggal tampak sederhana, padahal menyimpan banyak lapisan. Cerita dimulai dari duka Gema akibat kematian ayahnya, lalu berbelok menjadi kebohongan absurd. Film ini tidak berhenti pada kritik sosial, tetapi juga menggali sisi psikologis Gema melalui kehadiran inner child-nya, yang diperankan Jared Ali. Sosok Gema kecil ini adalah sentuhan brilian yang menjadi gambaran hati nurani, namun akhirnya juga ikut terseret dalam kebohongan. Percakapan keduanya bukan sekadar pelengkap, melainkan kunci yang menunjukkan konflik batin Gema: antara kepolosan masa lalu dan kekacauan yang ia ciptakan sendiri.

Karakterisasi: Si Caper yang Kesepian

Gema adalah representasi sempurna dari fenomena “sendirian di tengah keramaian.” Awalnya, ia adalah sosok yang ada dan tiada; hadir secara fisik, namun absen secara emosional. Ia haus akan perhatian bukan karena ingin mengganggu, melainkan karena ia sangat kesepian. Gema pun berkembang jadi “si caper yang kesepian.”

Omara N. Esteghlal membawakan peran Gema dengan tubuh yang seolah sudah lama bersahabat dengan rasa canggung. Bahasa tubuhnya mencerminkan seseorang yang tidak terbiasa menuntut ruang, mulai dari menunduk, senyum kecut, hingga sering menghindari kontak mata. Omara berhasil membuat penonton tidak hanya melihat, tapi juga merasakan langsung kesepian Gema. Melalui gestur-gestur kecil itulah, kesepian itu terasa begitu meyakinkan, membuat karakter Gema menjadi sangat manusiawi.

Kekuatan Omara adalah membuat Gema tidak pernah sepenuhnya antagonis, meski tindakannya kian absurd. Kita tetap menaruh simpati dan memahami kebutuhan manusiawi untuk “dianggap ada.” Dari sinilah Tinggal Meninggal menjadi refleksi tajam tentang perhatian itu bukan bonus, melainkan kebutuhan dasar manusia untuk diakui keberadaannya.

Sinema visual: Ruang, warna dan ritme

Secara visual, Tinggal Meninggal menggunakan bahasa sinema yang sederhana, bahkan cenderung minimalis. Tidak ada tata cahaya yang berlebihan, tidak ada komposisi yang mencolok. Namun, kesederhanaan itu justru efektif menegaskan alienasi Gema. Framing kerap menempatkan Gema di sudut, terhimpit, atau berdiri kecil di ruangan luas. Ia tampak seperti figur yang tidak pernah pantas mengisi ruang yang ditempatinya.

Warna-warna dengan dominasi abu-abu dan cokelat pudar, memperkuat nuansa dingin. Kontras itu terasa ketika bertabrakan dengan situasi komedi. Humor gelap lahir bukan dari dialog cerdas semata, tetapi juga dari absurditas visual: ruang dingin yang dipenuhi kelucuan getir.

Dari segi ritme, durasi dua jam bisa terasa panjang. Ada bagian repetitif, di mana kebohongan Gema seolah hanya berputar tanpa peningkatan berarti. Namun, Kristo menjaga ketertarikan dengan menaikkan absurditas sedikit demi sedikit. Penonton bertahan bukan karena alur, melainkan karena rasa ingin tahu: sampai di titik mana Gema akan menghancurkan dirinya sendiri?

Satir sosial: Belasungkawa sebagai performa

Film ini menemukan relevansinya justru di konteks budaya kita. Belasungkawa di Indonesia sering kali menjadi ritual sosial: ada tata krama, ada kewajiban, ada performa empati. Kita hadir, kita mengucapkan doa, kita berbagi simpati—tapi semua itu, pada titik tertentu, bisa terasa mekanis.

Di era media sosial, hal ini semakin kentara. Kabar duka cepat menyebar, dan timeline kita dipenuhi ucapan belasungkawa. Sekilas, itu menunjukkan kepedulian. Tapi Tinggal Meninggal menyorot sisi lain kalau perhatian itu sementara, cepat pudar. Hari ini kita bersimpati, besok kita sudah lupa.

Apa yang dilakukan Gema adalah penyimpangan besar dari fenomena ini. Ia berbohong demi terus mendapat ucapan belasungkawa, seolah duka adalah satu-satunya pintu untuk eksis. Satir ini menggelitik sekaligus menyakitkan, bukankah kita juga, dalam bentuk berbeda, kerap mencari validasi lewat status muram atau cerita pahit yang kita tahu akan lebih cepat direspons?

Karakter Pendukung: Cermin Lingkaran Sosial Gema

Selain Omara, film ini juga didukung Nirina Zubir, Mawar Eva de Jongh, Muhadkly Acho, Ardit Erwandha, Nada Novia dan Shindy Huang. Mereka menjadi representasi lingkungan sosial Gema: rekan kerja, figur keluarga, dan orang-orang yang hadir hanya di sekitar duka. Chemistry ini membantu memperkuat ironi film—orang-orang yang biasanya tidak peduli, mendadak hadir penuh simpati, lalu menghilang lagi setelah “ritual sosial” selesai.

 

Debut Kristo Immanuel dan Posisi Imajinari

Sebagai debut penyutradaraan, Tinggal Meninggal menunjukkan keberanian besar. Dark comedy atau komedi gelap adalah genre sulit, apalagi di pasar film Indonesia yang cenderung lebih nyaman dengan drama keluarga atau horor komedi. Kristo memilih jalan terjal, tapi justru dari situlah film ini memiliki suara kuat.

Imajinari, lewat film ini, melanjutkan tradisi mereka menghadirkan karya-karya dengan warna berbeda. Setelah Ngeri-ngeri Sedap dan Agak Laen, mereka kembali menunjukkan konsistensi dalam mencari ruang baru bagi film Indonesia. Tinggal Meninggal menjadi pembuktian bahwa industri kita siap untuk satir yang lebih berani.

Tinggal Meninggal digarap oleh DOP yang sama dengan Sore: Istri dari Masa Depan. Ada jejak estetika yang terasa familiar: permainan cahaya yang natural namun tajam, framing yang selalu berusaha mendekatkan kita pada keresahan para tokoh. Meski genre dan nuansanya berbeda, keduanya sama-sama menekankan pertemuan antara keintiman dan absurditas

Perhatian sebagai Kebutuhan, Bukan Sekadar Bonus

Pada akhirnya, Tinggal Meninggal adalah cermin kepedihan bagi kita semua. Ia membongkar dalam keramaian, banyak orang sebenarnya hidup sendirian. Dalam tawa, terselip duka. Dalam belasungkawa, ada performa yang kadang lebih penting daripada ketulusan.

Secara keseluruhan, film ini adalah film yang cerdas dalam menggunakan struktur naratif dan karakter untuk mengeksplorasi isu-isu yang lebih dalam.Tidak hanya menyoroti kebohongan, tapi juga menyingkap lapisan-lapisan psikologis tentang bagaimana manusia dapat terperangkap dalam lingkaran absurditas yang mereka ciptakan sendiri, hanya untuk mengisi kekosongan.

Catatan yang lahir dari menonton film ini sederhana tapi tajam: perhatian adalah kebutuhan dasar manusia, bukan sekadar bonus. Kita bisa menertawakan Gema sebagai “si caper yang kesepian,” tapi barangkali dalam kadar tertentu, kita juga sama. Kita semua, dengan cara masing-masing, sedang berjuang untuk tidak ditinggal meninggal oleh perhatian orang lain.

Kontributor: @2tisya
Editor: Tim Y2F Media


>> Gabung di Channel WhatsApp 👉 Y2F Media <<
Shares:
Show Comments (0)
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 × 5 =