Y2F.Media — Downstreaming mineral di Indonesia merupakan kebijakan strategis yang bertujuan meningkatkan nilai tambah produk mineral dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam.
Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi ekspor bijih mentah dan meningkatkan produksi barang jadi domestik, sehingga memperkuat cadangan devisa nasional dan daya saing Indonesia di pasar global.
Salah satu peluang utama dari hilirisasi mineral adalah peningkatan investasi disektor pengolahan. Sejak diberlakukannya larangan ekspor bijih nikel pada tahun2020, Indonesia berhasil menarik investasi besar untuk pembangunan smelter danpabrik pengolahan nikel.
Pada tahun 2024, ekspor produk nikel mencapai 160 triliun rupiah, menyuplai 55% pasar global, dan diperkirakan meningkat menjadi 64% pada tahun ini.
Selain itu, hilirisasi mineral membuka peluang bagi pengembangan industri pendukung, seperti manufaktur baterai kendaraan listrik. Kerjasama antara Indonesia dan Inggris yang ditandatangani pada September 2024 menekankan pentingnya pengembangan rantai pasokan mineral kritis untuk mendukung industri kendaraan listrik.
Namun, terdapat beberapa tantangan dalam implementasi hilirisasi mineral. Dr. Iwan Setiawan, Koordinator Kelompok Riset Metalurgi Proses dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan adanya tantangan Keterbatasan teknologi dan infrastruktur yang menjadi hambatan signifikan.
Ia mengidentifikasi bahwa keterbatasan ini menghambat pengembangan industri hilir, sebagaimana dilansir Kompasiana, pada 13 Februari 2025 dalam kegiatan Seminar Nasional Metal Fest yang membahas Peluang dan Tantangan Hilirisasi Mineral Menuju Indonesia Maju 2045.
Selain itu, dominasi investasi asing dalam sektor hilirisasi menimbulkan kekhawatiran terkait pengendalian sumber daya alam dan manfaat ekonomi bagi Indonesia. Keterlibatan investor asing yang besar dapat mempengaruhi kemandirian industrinasional dan distribusi manfaat ekonomi.
Tantangan lainnya adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM) lokal yang terampil di bidang teknologi pengolahan mineral. Hal ini memerlukan investasi dalam pendidikan dan pelatihan untuk menciptakan tenaga kerja yang kompeten dan siap mendukung industrihilir.
Selain itu, masalah lingkungan menjadi perhatian utama. Kegiatan pengolahan mineral dapat menyebabkan deforestasi, polusi air, dan kerusakan ekosistem. Pemerintah dan perusahaan harus bekerjasama untuk menerapkan praktik pertambangan berkelanjutan guna meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, pemerintah Indonesia telah mengusulkan revisi undang-undang pertambangan pada Januari 2025. Revisi ini bertujuan mempercepat pengembangan industri pengolahan mineral dan mengatur izin pertambangan untuk kelompok agama dan universitas.
Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi perusahaan kecil dan menengah serta memastikan distribusi manfaat yang lebih merata.
Selain itu, kerjasama internasional menjadi kunci dalam mengatasi tantangan hilirisasi. Indonesia aktif menjalin kemitraan dengan berbagai negara untuk transfer teknologi, peningkatan kapasitas SDM, dan akses ke pasar global.
Kerjasama dengan negara-negara Afrika, misalnya, difokuskan pada peningkatan hilirisasi pertambangan dan penerapan praktik pertambangan berkelanjutan.
Dengan memanfaatkan peluang dan mengatasi tantangan yang ada, hilirisasi mineral di Indonesia dapat menjadi pendorong utama transformasi ekonomi.
Penting bagi semua pemangku kepentingan untuk bekerjasama dalam menciptakan ekosistem industri mineral yang berkelanjutan, inovatif, dan memberikan manfaat optimal bagi masyarakat dan negara.
__
Kontributor: Ahmad Syaifullah