Opini

Satire: “Bangkai Tikus” Lebih Harum “Beras Pandanwangi”

Y2F. Media — Serasa mati akal, pasrah bertindak apapun, frustasi dan pesimistis, tatkala mendengar berita penangkapan Hakim oleh KPK karena terlibat kasus suap perkara korupsi. Penjaga garda keadilan itu telah merobek kewibawaan TOGA kehormatannya, dan bahkan merobohkan bangunan gedung pengayom tempat para pencari keadilan. Sangat miris peristiwa itu.

Selain itu, rakyat juga dipertontonkan prilaku elite penguasa yang masih “berbagi patron klien politik sesembahannya”, hingga berita dugaan prilaku oknum aparat keamanan tertentu melakukan teror kepada wartawan media mainstream. Pemerintah juga belum mampu memberi solusi secara komprehensif perihal PHK massal, hingga antisipasi fluktuasi kondisi ekonomi global yang sangat berdampak terhadap situasi perekonomian domestik. Fenomena PHK masal dalam tempo singkat beberapa perusahaan, seakan mengindikasikan proses perencanaan hingga pembentukan bisnis usaha tersebut dijalankan dengan cara tidak wajar. Indikasinya, diduga para pemilik perusahaan memanfaatkan akses informasi peluang kebijakan import yang ditetapkan para elite birokrat bersama para politisi parlemen, untuk pengadaan material bahan olahan yang mengharuskan import. Fenomena lainnya, pemerintah justru lebih memprioritaskan amandemen UU.No.34/2004 tentang TNI melalui proses politik seperti “analogi Sangkuriang membangun seribu candi dalam satu malam”, ketimbang memenuhi aspirasi rakyat yang menginginkan segera “membahas dan mengesahkan RUU Perampasan Aset bagi para koruptor”.

Belum lagi soal kenaikan harga Cabe, Bawang, Minyak Goreng, Gula Pasir, dan bahan dasar untuk jajanan bagi para pedagang kaki lima. Warga miskin kota harus tetap survive untuk memenuhi kebutuhan dasar penghidupannya, yang dipaksa dengan keadaan untuk menjadi kreatif dan mandiri dengan cara menciptakan lapangan pekerjaanya sendiri. Jika para politisi dan elite penguasa selalu mempertontonkan sikap dan prilaku lebih mementingkan kehendak kuasanya, selalu mengabaikan aspirasi dan kehendak rakyat, maka fenomena ini bisa berarti memang sedang ada persoalan besar dengan moralitas, atitude dan mentalitas para politisi, dan para elite birokrat negeri. Mereka hanya sebatas memikirkan dirinya sendiri dan kelompoknya.

Tontonan tidak adanya keteladanan prilaku para politisi parlemen maupun para elite birokrat itu, secara gradual telah mempengaruhi alam bawah sadar warga bangsa, bahkan bisa menjadi keyakinan baru bagi rakyat soal “hegemoni psikology pemikiran pesimistik-destruktif”. Publik mayoritas semakin tidak lagi percaya dengan niatan dan kinerja rezim penguasa. Secara berjamaah, rakyat akan menilai dan berkeyakinan bahwa niatan baik apapun yang ditawarkan kepada rakyat, dan segala bentuk program pembangunan yang dijalankan rezim penguasa, muara tujuannya semata untuk memenuhi dan melindungi kepentingan elite birokrat dan para kolega politiknya.

Implikasinya dengan lahirnya keyakinan baru bagi rakyat ini, menjadi sangat relevan dengan fenomena berkembangnya pola pikir dan cara tindak masyarakat di era post-truth. Publik dipaksa untuk menghadapi dan atau berhadapan dengan berbagai ragam persoalan politik secara individu atau beserta kelompok politiknya masing-masing.

Era Post-Truth

Saat ini, ragam informasi mudah diakses dan disebarkan, dan cilakanya banyak orang cenderung menerima apa yang dibaca tanpa mengkritisinya. Sementara, informasi yang diterima bisa saja tidak akurat atau menyesatkan, kalau tidak dilakukan pengecekan fakta secara mendalam. Sementara, pertarungan para influencer antar kubu “penyerang dan pembela” pemerintah penguasa telah mengotori ruang publik dengan narasi yang semakin menegasikan eksistensi bangsa pada posisi rendah peradabannya. Kelompok masyarakat tertentu dengan klaim aktivis penjaga demokrasi, berbekal platform media sosialnya, operator potcast, youtuber-tiktoker, pengamat politik, politisi jalanan, sedang beramai-ramai memanfaatkan kondisi politik tidak menentu saat ini untuk meraup keuntungan pribadi. Ada dugaan mereka menginginkan situasinya tetap seperti sekarang ini.

Di sisi lain, publik juga masih saja berkutat soal Ijazah palsu Jokowi dengan target maksimal pemenjaraan karena dampak politik yang diwariskan selama menjabat sebagai presiden. Meskipun, benar adanya sebagaimana pernyataan mantan Rektor UGM Prof. DR. Sofyan Efendi bahwa kasus ijazah palsu Jokowi jika ditelusuri lebih jauh, berpotensi membongkar babak baru dalam sejarah pemalsuan dan manipulasi kekuasaan di Indonesia. Viral berita di media sosial hingga tayangan potcast soal dugaan Ijazah palsu Jokowi itu, bahkan mengalahkan berita kasus perkara mega-korupsi yang justru pengaruh dampak politiknya lebih dahsyat pada etika, budaya, mentalitas, moralitas para pemimpin negeri ini, hingga kesejahteraan bersama seluruh warga bangsa.

Perkara mega-korupsi dimaksud adalah kasus ekspor crude palm oil (CPO) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, perkara kasus oplosan Pertamina, perkara kasus kasus impor gula Eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasi Lembong, hingga perkara kasus korupsi timah di Bangka Belitung mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun itu, bahkan melibatkan direksi PT Timah, Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan pihak swasta. Bahkan, kegaduhan ruang publik yang dipenuhi riak-riak protes moral-politik itu, dilakukan dengan memanfaatkan kebebasan berpendapat dimuka umum dengan ragam narasi yang ditujukan kepada oknum individu hingga institusi tertentu. Nampaknya upaya ini sudah kehabisan skenario paling ampuh dan efektif untuk pencapaian target politik yang diharapkan.

Peradaban dunia yang berkembang di era post truth (paska kebenaran) memang butuh kecerdasan nalar dengan basis etika dan moralitas yang kuat. Tanpa itu, peradaban manusia akan dijejali berbagai berita/info dengan narasi sesuai kehendak yang menguntungkan dan melindungi eksistensi para oligark. Istilah post truth pertama kali muncul dalam tulisan Steve Tesich pada Januari 1992, dilatari berdasarkan simpulan pemikiran Friedrich Nietzsche abat ke 19 yang menyatakan “kebenaran dapat dimanipulasi”. Keyakinannya itu dibuktikan berdasarkan tulisan esai Steve Tesich yang diterbitkan majalah The Nationtahun 1992 mengenai hasil pengamatannya terhadap masyarakat Amerika Serikat mulai menerima kebohongan pemerintah terkait skandal Iran-Contra dan Perang Teluk. Era post-truth ditandai dengan suatu keadaan di mana fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi. Manusia lebih reaktif terhadap hal-hal yang terkait perasaan dan keyakinan daripada fakta. Era post-truth juga menyebabkan terjadinya pergeseran sosial yang melibatkan dan menempatkan peran media sosial dan pembuat opini sebagai pengambil keputusan mayoritas publik dibalik layar. Platform digital, terutama media sosial seperti Facebook dan Twitter, memungkinkan individu untuk berbagi dan mengakses informasi tanpa filter. Akibatnya, berita palsu, disinformasi, dan propaganda dapat menyebar lebih cepat dibandingkan fakta yang telah diverifikasi.

Fenomena ini mencapai puncaknya pada tahun 2016, yang sering disebut sebagai “tahun pasca kebenaran”. Dua peristiwa utama menjadi sorotan: referendum Brexit di Inggris dan pemilihan presiden Amerika Serikat yang dimenangkan oleh Donald Trump. Dalam kedua peristiwa ini, banyak klaim palsu yang disebarkan secara luas melalui media sosial dan memengaruhi keputusan masyarakat. Ada tiga unsur penting dalam Era post-truth (1) Arus informasi yang masif, (2) Emosi mengalahkan fakta, dan (3) Sensasi lebih menarik daripada esensi. Fenomena ini yang mendorong prilaku FOMO (fear of missing out) menjadi budaya baru era Gen Z yang sangat takut ketinggalan berita/informasi viral. Siapapun akan merasa terasing bahkan berpotensi mendapat bulying rekan sosialitanya bila terlambat update soal apapun. Mencermati gegap gempitanya potret pertarungan para influencer antar kubu “penyerang dan pembela”atas perintah tuannya masing-masing itu, publik patut menggali secara jernih ragam kejadian politik yang mewarnai di berbagai platform media sosial yang ada. Benarkah mereka sedang bertarung atau justru sedang berselingkuh secara politik?

Pertarungan atau Perselingkuhan

Konsekwensi sistem demokrasi berlaku konsep mayoritas-minoritas itu bisa mengalahkan prilaku akal sehat siapapun, ketika kelompok mayoritas berpikiran jahat mengalahkan minoritas berpikiran baik. Tafsirnya politiknya, tidak ada yang salah dengan praktik demokrasi itu sendiri, meskipun ada kebijakan politik dinilai publik mayoritas salah/tidak rasional. Bila mengendus dan menelisik gesture komunkasi politik yang juga bisa diartikan sebagai pola konflik terselubung antar tiga patron klien pengendali gerbong politik paling eksis saat ini (Prabowo-Jokowi-Megawati), relatif sulit memastikan apakah diantara mereka itu “sedang bertarung atau sedang berselingkuh”. Ketiga patron klien ini, dari masing-masing mereka sejatinya telah menanamkan para kader terbaik dan kepercayaannya pada pos-pos kementerian dan menguasai institusi Legislatif (DPR-MPR) maupun Yudikatif (Kejaksaan, Kehakiman) serta institusi TNI dan Kepolisian.

Selain itu, ketiganya juga diduga sama-sama punya saham kasus pidana maupun kasus politik, yang juga saling mengetahui dan saling memegang informasi maupun bukti untuk saling menunggu/berjaga-jaga. Fenomena politik ini menjadi sangat sulit dan tidak masuk akal jika diantara mereka dianggap sedang dalam posisi saling bertarung. Apabila benar prediksi analisis konstalasi dan posisi politis ketiga patron klien politik itu, kesimpulannya mereka itu bukan sedang saling bertarung, tetapi tepatnya sedang berselingkuh dengan balutan peristiwa yang seolah-olah berseteru menggunakan issue bombastis sesaat yang mereka yakini publik juga akan cepat melupakannya. Memang, ada juga yang berpendapat “Prabowo tidak akan berani berantas korupsi dan tidak bisa lepas dari oligarki”. Seperti tayangan TV swasta “acara uji nyali”, beranikah rezim Prabowo-Gibran menghadapi tantangan politik-dramatik yang sudah seperti lingkaran setan ini?

Jika rezim Prabowo-Gibran benar-benar berkomitmen akan memberantas korupsi dan mampu memutus ketergantungan serta kendali pengaruh para oligark, mereka akan dikenang setara “Soekarno-Hatta” yang telah menghantarkan “Kemerdekaan Indonesia Kedua” bagi bangsa Indonesia. Marak dan cenderung semakin beraninya oknum pejabat, anggota legislatif, para petinggi BUMN, bahkan oknum Hakim melakukan tindak pidana korupsi, bisa jadi salah satu faktornya karena melimpahnya potensi SDA Indonesia yang sejak awal sudah salah urus. Mereka memanfaatkan akses informasi kebijakan anggaran program pembangunan yang melibatkan pihak ketiga/swasta sebagai eksekutornya.

Berkah Berpotensi Musibah

Ketersediaan ragam potensi SDA dengan hasil panen melimpah di tingkat tapak/desa, sesungguhnya secara struktural bisa menjadi berkah atau sebaliknya musibah. Musibah karena praktik salah urus berikut mentalitas oknum pejabat yang minim keimanan dan tidak sayang kepada keluarganya dengan berprilaku maling/pencuri, manipulasi, hingga korupsi uang negara. Indonesia dengan kekayaan SDA dan keberaniannya menempatkan posisi sebagai bangsa besar dengan posisi tawar tinggi dalam panggung politik global, yang sekaligus menempatkannya menjadi salah satu pasar terbesar dunia, sejatinya sedang berada dipusat permainan dunia.

Hasil bumi Indonesia sangat melimpah dan berlebih untuk mencukupi kebutuhan pangan seluruh rakyat Indonesia. Indonesia akan berani melawan bila ada kebijakan negara-negara asing melakukan boikot terkait kebijakan perdagangan/eksport hasil produksi SDA Indonesia. Anugerah kekayaan SDA ini memang bisa menjadi berkah atau sebaliknya berpotensi musibah ketika berinteraksi secara politik dengan negara lain. Implikasinya dengan “azas saling ketergantungan” dalam komunitas antar bangsa, sejatinya Proxy War bukan lagi konspirasi tetapi sudah berlangsung nyata. Meskipun bentuk perangnya tidak dengan senjata tetapi melalui penjajahan pikiran. Situasi saat ini memang posisi Indonesia sedang menjadi target utama negara-negara manapun, semata karena kekayaan SDA dan keberaniannya menjalankan kebijakan politik hilirisasi pada beberapa bahan baku vital yang dibutuhkan industri dunia.

Proxy War adalah konfrontasi antara dua kekuatan besar yang bersekutu blok barat (USA dan sekutunya) dengan blok timur (China, Rusia dan negara-negara BRICS) yang menggunakan pemain pengganti (proxy) untuk menghindari konfrontasi langsung. Ini adalah perang di mana satu pihak memberikan dukungan kepada pihak lain dalam konflik, tanpa terlibat langsung. Dalam era digital, proxy war tidak terbatas pada konflik militer, tetapi juga mencakup perang informasi lewat media sosial dan platform digital. Untuk menghadapi ancaman proxy war, dibutuhkan semangat nasionalisme, persatuan dan kesatuan nasional, serta kesadaran masyarakat akan pentingnya mengenali sosok musuh sebenarnya. Sejatinya musuh sebenarnya itu ada disetiap pikiran manusia. Perang lewat pikiran dilakukan melalui narasi-narasi terselubung dengan target perpecahan diam-diam. Salah satu pasukan tempur proxy waradalah para Influencer yang punya pengaruh dan kemampuan memengaruhi orang lain, dengan menyebarkan issue dan propaganda bersifat adu domba menuju dis-integrasi bangsa.

Simpulan

Era post-truth dalam situasi proxi war saat ini, memang sulit membedakan mana kawan dan mana lawan. Secara phisik nampak harmonis potret interaksi sosial-politik sebagaimana gesture yang ditunjukkan antar sesama influencer antar kubu “penyerang dan pembela” dari pendukung masing-masing patron klien pengendali gerbong politik republik ini. Sedangkan peluang paling memungkinkan saat ini untuk mengaduk-aduk emosional seseorang, tidak butuh pemikiran rumit dan waktu lama. Cukup dengan menggunakan narasi-narasi kebencian untuk menyerang dan atau menghujat oknum individu maupun institusi tertentu yang disasarnya. Fenomena ini direpresentasikan dalam potret pertarungan para influencer antar kubu “penyerang dan pembela” yang berkenaan dengan dugaan kasus pemalsuan Ijazah mantan presiden Jokowi.

Begitu luar biasanya dampak budaya-politik yang harus dihadapi dalam era post-truth dalam situasi proxi war saat ini, sehingga dengan begitu mudahnya rakyat melupakan berbagai kasus mega-korupsi,  dan bahkan rakyat lebih memilih untuk terus menerus mengangkat kasus dugaan Ijazah palsu Jokowi. Fenomena ini menjadi pertanda politik bahwa proxy war memang benar nyata terjadi berikut target yang berhasil dicapainya dengan memainkan era post-truth sebagai entry point. Mengapa? Karena soal dugaan Ijazah palsu Jokowi itu, dipilih dan dinilai sangat potensial dengan daya rusak lebih cepat dan luar biasa bagi sesama anak bangsa yang memang masih terluka paska Pilpres Presiden 2024.

Implikasinya dengan tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja dan komitmen pemerintah penguasa memerangi kasus korupsi yang sudah sangat terstruktur, sistemik dan masif dikalangan elite birokrat, politisi legislatif, elite BUMN, hingga para hakim yang terjadi pada era post-truth dan praktik proxy war ini, maka kondisi bangsa ini harus ditempatkan dalam situasi darurat politik untuk mengantisipasi munculnya gerakan reformasi atau gerakan revolusi rakyat. Sebagai pengingat lain, bahwa keberadaan para pekerja buruh pabrik, petani, nelayan, pedagang kaki lima, dan warga miskin kota itu merupakan lima entitas politik kunci paling potensial dijadikan pemantik dengan menggulirkan issue-issue sosial-politik dalam era post-truth dan praktik proxy war untuk membangun dan membangkitkan aksi massa dalam gerakan reformasi atau revolusi sekalipun.

Kelima entitas politik kunci itu bila terganggu sumber pendapatan ekonomi hariannya secara ekstrem dalam kurun waktu relatif lama, yang selanjutnya keresahan mereka direspon dengan gelombang aksi mahasiswa dan massa secara berjilid-jilid, dan para demonstran tetap bertahan meski mendapat perlakuan represif pihak aparat keamanan, maka target gerakan reformasi atau revolusi rakyat akan tewujud keinginannya. Fenomena di atas sejatinya bisa menegasikan peringatan BMKG soal “gempa megathrust” yang bisa berdampak dasyat merusakkan bangunan phisik beserta korban reruntuhannya. Akan tetapi, sesungguhnya dampak tersebut justru lebih mengkhawatirkan andai terjadi “gempa politik berupa gerakan revolusi rakyat”. Proses penyembuhan luka bathin-politik antar anak bangsa akan berlangsung lama karena ada dendam politik, dan akibat terjadinya gerakan revolusi rakyat dipastikan ada kerugian materiel berikut korban nyawa manusia dalam jumlah tak terkira.

 Karenanya, jika publik lebih memilih masuk dalam “jebakan struktural” hingga “berprilaku FOMO” dalam dugaan kasus Ijazah palsu Jokowi, dari pada peduli dan kritis terhadap kasus mega-korupsi, menghadapi fenomena era post-truth dan praktik proxi war melalui penyebaran issue dan propaganda bersifat adu domba menuju dis-integrasi bangsa, maka prilaku sosial publik sangat relevan dengan judul tulisan opini ini “Satire: “Bangkai Tikus” Lebih Harum “Beras Pandanwangi”.

Selamat Merenung Dengan Takzim dan Tetaplah Bergembira … !!

Bahan bacaan:

  1. https://www.google.com/search?client=firefox-b-d&q=pengertian+proxy+war+menurut+para+ahli
  2. https://id.wikipedia.org/wiki/Pasca_kebenaran

>> Gabung di Channel WhatsApp 👉 Y2F Media <<
Shares:
Show Comments (0)
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one − 1 =