Y2F.Media — Di tengah banjir informasi, narasi yang terpecah, dan gempuran hoax, cara Generasi Z menyikapi konsep kebenaran menjadi sorotan penting.
Berbeda dari generasi sebelumnya, Gen Z, sebagai digital native, memiliki mekanisme unik dan seringkali kompleks dalam memverifikasi dan mempercayai informasi.
Gen Z dibesarkan dalam ekosistem media sosial di mana informasi datang dari berbagai sumber, tidak hanya media mainstream.
Hal ini melahirkan kecenderungan untuk melakukan verifikasi mandiri dan tidak mudah menerima kebenaran tunggal dari satu otoritas saja.
Mereka cenderung menyilangkan (cross-check) informasi dari berbagai platform—TikTok, X, YouTube, hingga komunitas digital—sebelum membentuk opini.
Namun, di sisi lain, pendekatan ini juga memicu tantangan. Kecepatan informasi digital seringkali membuat mereka rentan terhadap bias konfirmasi, yaitu kecenderungan untuk mencari informasi yang hanya mendukung pandangan mereka yang sudah ada.
Oleh karena itu, kemampuan literasi digital dan berpikir kritis menjadi sangat vital.
Mencari Otentisitas dan Menolak Gimmick
Psikolog dan pengamat komunikasi melihat bahwa Gen Z cenderung mengaitkan kebenaran dengan otentisitas dan transparansi.
Mereka lebih mempercayai narasi yang disampaikan oleh content creator atau influencer yang dianggap jujur dan relatable, daripada figur otoritas formal yang dianggap kaku.
Kebenaran, bagi mereka, seringkali bersifat kontekstual dan harus sejalan dengan pengalaman nyata.
Fenomena ini adalah sinyal bagi semua pihak, termasuk media dan institusi pendidikan, untuk menyesuaikan cara penyampaian informasi.
Agar dapat menjangkau Gen Z, narasi tidak boleh hanya bersifat instruktif, tetapi harus transparan, didukung data, dan disajikan dengan pendekatan yang jujur. Hanya dengan memahami cara Gen Z memproses informasi, kita bisa menjembatani kesenjangan komunikasi dan membangun pemahaman kolektif yang kuat.
